Senin, 02 Januari 2017

Perihal Menulis

Menulis, bagaimanapun adalah pekerjaan yang sangat sulit. Butuh konsentrasi yang tinggi agar bisa tetap fokus untuk menghasilkan tulisan bagus. Jika kau tidak fokus, maka kesempatan untuk menyelesaikan tulisan bagus tentu akan hilang. Begitupun yang aku alami sekarang. Aku benar-benar tidak bisa menulis baik bahkan menulis cerita remeh sekalipun.

Seseorang berkata, kau harus banyak baca buku-buku bagus agar keterampilan menulismu mencuat atau setidaknya kamu bisa menulis cerita-cerita remeh seperti penulis-penulis pelit yang tidak jelas itu. Aku melakukannya. Aku membaca buku. Mulai dari buku-buku penting (Hemingway, Kafka, Marquez, Llosa, Pamuk, Bolano, Murakami, dan masih banyak lagi) sampai buku-buku yang sebenarnya tidak penting untuk dibaaca (Misal buku pelit karangan Raditya Dika, buku motivasi oleh motivator dan buku how to lainnya (karya-karya ini sebenarnya boleh dibaca untuk membandingkan tulisan kita, yakinlah tulisanmu akan lebih bagus daripada karya-karya ini). Setelah membaca semuanya, aku masih tidak bisa menulis. Ada semacam kekacauan yang menyelimuti otakku. Asem.


Suatu hari aku bertemu dengan seorang kawan. Ia sekarang sudah menjadi guru bimbel di sebuah kampung kecil yang tidak terlalu ramai. Kami bercerita tentang masa lalu, dan tidak lama kemudian, aku menceritakan masalahku yang tidak bisa menulis kepadanya.





“Kau bisa bepergian kemanapun, atau kau bisa mempunyai pacar berapapun lalu putus, lalu patah hati dan setelah itu semua barulah kau bisa menulis. Usahakan dalam menulis kau menambahkan sedikit drama, artinya ada hal yang perlu kau lebih-lebihkan agar pembaca bisa menerima tulisanmu. Bukankah sekarang orang-orang menyukai drama?”

Kurang lebih seperti itu yang ia katakan padaku. Aku mendengarkannya dengan seksama. Aku bahkan tidak peduli kalau ia ternyata lebih dulu memberikan saran sebelum aku minta. Sampai sekarang kata-katanya masih terngiang di kepalaku. Entah suka atau tidak, ia sebenarnya bahkan tidak tahu kalau sebelum aku bertemu dengannya, aku telah mengalami banyak patah hati dan benar-benar mendramatisir bagian-bagian tertentu saat menceritakannya ke orang-orang. Tetapi, sungguh sial karena sampai sekarang aku tidak bisa menuliskannya dalam sebuah cerita, baik itu fiksi maupun nonfiksi.

Khawatir, gelisah, takut, bahkan sampai malu yang aku rasakan setiap kali aku ingin menuliskan sebuah cerita di depan layar laptop. Belum cukup satu paragraf, aku pasti akan menghapus tulisan yang sudah kuketik. Aku ingin menjadi penulis, sungguh. Aku ingin menjadi penulis besar Indonesia seperti Eka Kurniawan ataupun Seno Gumira. 

Dan hari ini aku kembali berada di depan layar laptop untuk menulis apapun. Aku ingat dulu ketika masih duduk di bangku SMP, aku pernah menulis cerita tentang seorang tentara (pejuang kemerdekan) yang membunuh semua penjajah pada zaman merebut kemerdekaan. Teman-temanku menyukainya juga guru bahasa Indonesiaku yang terharu karena di akhir cerita pejuang itu mati (digigit ular) setelah membunuh semua musuh-musuhnya.

"Kau tahu, sangat jarang ada siswa SMP yang bisa menulis tentang pejuang kemerdekaan sebaik dirimu," kata guruku yang berulang kali mengatakan itu setiap kali kami bertemu. Aku mungkin senang mendengar perkataannya, walaupun sebenarnya cerita itu bukan cerita orisinal karena aku mencontek sebagian besar cerita Rambo yang selalu kulihat di TV. Yang berbeda mungkin cuma di bagian akhir karena setahuku, Rambo tidak pernah mati digigit ular. Setelah satu cerita ini, aku tidak bisa menulis lagi, walaupun aku terlalu sering membaca. Sekarang saja aku masih berada di depan layar laptop masih mengutuki diri ini mengapa aku masih belum bisa menulis lagi. 

Telah kusebutkan semua masalahku di layar laptop ini. Aku bahkan tidak tahu apakah saat ini aku menulis atau tidak.

Hhhh 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar