Senin, 02 Januari 2017

Apa Yang Kita Simpan di dalam Saku?

Oleh: Etgar Keret

Pemantik api, permen batuk, prangko, sebatang rokok yang agak reyot, tusuk gigi, sapu tangan, pulpen, dua puluh lima koin shekel. Hanya itu yang ada di dalam sakuku. Jadi apakah mengherankan kalau sakuku menonjol? Banyak orang bilang iya. Mereka berkata, “ Setan apa yang ada di dalam sakumu itu?” Seringkali aku tidak menjawab, hanya tersenyum, kadang-kadang aku bahkan hanya memberikan sedikit senyum manis. Seolah-olah seseorang sedang menceritakan kekonyolan. Jika mereka memaksa dan bertanya lagi, aku mungkin akan memperlihatkan semua yang kumiliki, bahkan aku mungkin menjelaskan mengapa aku selalu membutuhkan barang-barang ini. Tetapi mereka tidak menanyakannya. Persetan, senyuman, tawa yang sopan, keheningan yang ganjil, dan kami yang berada pada masalah selanjutnya.

Fakta bahwa semua yang aku miliki di dalam sakuku ini kupilih dengan sangat hati-hati sehingga aku selalu terpenuhi. Segalanya kusimpan disini sehingga aku mendapat semacam keberuntungan pada momen yang sangat krusial. Sebenarnya, tidak juga. Segalanya kusimpan disini sehingga aku tidak akan mengalami kerugian pada momen yang sangat krusial.  Karena apakah sejenis tusuk gigi kayu atau prangko benar-benar bisa memberimu keuntungan? Tapi, bagaimana jika, contohnya saja, seorang wanita cantik—bahkan sebenarnya tidak cantik-cantik amat, hanya menarik, seperti seorang wanita yang tampak biasa-biasa saja dengan sebuah senyuman yang mempesona yang membuatmu mengembuskan napas—meminta prangko padamu, atau malah tidak bertanya, hanya berdiri di sudut jalan di depan sebuah kotak surat merah pada malam yang hujan dengan sebuah amplop tanpa prangko di tangannya dan heran ketika kau secara kebetulan tahu letak sebuah kantor pos yang buka saat itu dan kemudian memberinya sedikit permen batuk karena dia kedinginan dan juga putus asa, karena jauh di dalam lubuk hatinya dia sadar kalau tidak ada satupun kantor pos yang buka di daerah itu, tepat pada jam itu, pada momen itu, pada momen yang sangat krusial itu. Dia tidak akan mengatakan,” Setan apa yang kau simpan di dalam sakumu,” tapi dia akan berterima kasih untuk prangkonya, bahkan mungkin bukan cuma ucapan terima kasih, dia akan memberikan senyuman, senyuman indah miliknya, sebuah senyum lebar untuk sebuah prangko surat—aku sungguh-sungguh menunggu giliran seperti ini, walaupun harga untuk prangko membumbung tinggi dan harga untuk senyuman merosot.

Setelah tersenyum, dia akan berkata terima kasih dan kembali batuk karena kedinginan dan juga karena sedikit malu. Dan aku akan menawarinya lagi permen batuk. Lalu dia akan bertanya ”Apa lagi yang ada di dalam sakumu?”  tetapi tanpa persetan dan istilah negatif lainnya, dan aku akan menjawab tanpa keraguan: Semua yang kau butuhkan, sayangku. Semua yang benar-benar kau perlukan.

Jadi sekarang kau tahu untuk apa aku menyimpan semua itu di dalam sakuku. Sebuah kesempatan untuk tidak gagal. Hanya kesempatan kecil, tidak besar, bahkan mungkin mustahil. Aku tahu itu, aku tidak bodoh. Mari katakan lagi "kesempatan yang kecil sekali", tetapi ketika kesempatan seperti itu datang, aku mungkin mengatakan ya padanya, dan bukan “Maaf, aku tidak punya rokok/tusuk gigi/koin untuk mesin soda.” Itulah yang kumiliki di dalam sakuku (penuh dan menonjol), sebuah kesempatan remeh untuk mengatakan ya atau malah menjadi menyesal.

Diterjemahkan oleh Himawan dari “What Do We Have In Our Pockets?” dalam buku Suddenly, a Knock on the Door (Farrar, Straus, and Giroux, 2012) karya Etgar Keret. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar